Jika kontravensi dalam pertemanan, mau bagaimana lagi

February 06, 2023


Kami kira ada salah, sehingga kamu ngak mau keluar rumah. "Sebuah pernyataan mendarat dari mulut dari bu RT.  " Bukan buk , lagi dalam pemulihan " jawabku. Percakapan itu  terjadi saat berkunjung ke rumahnya.

Lidah tak bertulang menggores hati

Beberapa  teman yang agak dekat denganku merasa heran, sebab udah lama banget ngak nimbrung dengan mereka entah dalam suasana ngobrol receh, kumpul dalam kegiatan yasinan, membesuk atau kegiatan  lainnya. Aku seperti menutup diri dan mereka tentunya berprasangka. 

Ada senang merasuk dalam hati, ternyata  mereka merindukanku. Ada sedih lantaran tak bisa 100%  jujur dengan mereka.  Jawaban dari pertanyaan kenapa ngak keluar rumah itu ada 2 sebenarnya. Selain dalam penyembuhan penyakit yang mengharuskan stay at home juga untuk menghindari toxic people . Walaupun  dalam kenyataannya toxic people akan selalu ada di dalam kehidupan ini entah dalam hubungan pertemanan, percintaan, ataupun pekerjaan. Sebaik apapun berprilaku lidah tetap ngak bertulang , nyess hati pun tergores.

Berusaha membaur dengan segala keunikan yang ada

Sebagai orang baru yang hidup diperantauan tentunya harus berusaha menyesuaikan diri. Hal itu sesuai dengan pribahasa dimana langit dijunjung di situ bumi di pijak. Artinya mengikuti alur yang  ada di suatu tempat untuk tercipta  interaksi sosial .

Keberadaan tetangga kerasa banget perannya, entah itu susah atau senang. Terutama susah, mereka tempat meminta bantuan dan aku menyadari hal itu. Komunikasi ringan dan tak julid itu aku terapkan. Bagiku, interaksi sosial sebagai obat biar waras, menapaki hidup jauh dari keluarga. Menyenangkan sebenernya bertemu orang  baru berbagi cerita.

Selama bergaul aku ngak pernah membicarakan hal pribadi, lantaran diri ini ngak mudah percaya sama orang. Dan kalaupun ada yang  membicarakan hal pribadi cukup tau saja tanpa ada niatan mengorek lebih dalam. Aku berusaha harmonis dengan mereka dalam berinteraksi. 

Setiap kata yang  keluar seperti racun

Ada 1 tetangga yang perhatian banget bahkan saat baru pindahan dia menyamperin kami. Mungkin dikiranya kami orang baru yang  sulit bergaul, bahkan dia ngajarin ini itu tentang kebiasaan di sini.  Awalnya positif aja ya, makin lama kok itu mulut beracun dan berusaha ngak terpancing. Namun saat dia mulai  membahas yang  merempet ke hal pribadi aku mulai jaga jarak. Menghindarinya selagi bisa entah di depan rumah atau saat ketemu di tempat lain. 

Omongan berbau materi dan pamer masih bisa kuterima, biarin aja mungkin dia butuh tempat untuk diakui. Namun aku berangsur kena mental menyangkut kehamilan. Yaah... aku pejuang garis dua yang baper jika membahas hal itu. Apapun pembicaraannya kan berakhir dengan cerita hamil. 

Setiap cerita kehamilan itu seru didengar dan bisa jadi masukan entah dari pijat rahim, yoga, makanan penyubur. Sebagai pejuang merasa dapat insigh baru namun akan jadi bencana bila menyerang ranah pribadi.  Pernah dia secara tak langsung menuduh kami mandul sebab tak kunjung  hamil setelah lewat 2 tahun. Seringan itu kata terucap dan kutangkis dengan cerita program hamil yang dijalani.  

Kesempatan lainnya ketemu dia menceritakan keberuntungan kami dalam rejeki dan kemalangan orang punya anak. Tuh... kan lagi- lagi menjatuhkan mental. Puncak aku menjauhi dari si toxic adalah pernyataannya bahwa suami akan meninggalkan istri yang  mandul. Omg seracun itu mulutnya, nyatanya aku lagi program dan butuh ketenangan. 

Memilih aman dan kontravensi pun terjadi

Pemikirannya, kepribadiannya yang tak baik sudah jadi alasanku jaga jarak.  Pernyataan yang dilontarkan makin hari membuat rasa tidak suka atau benci membludak memenuhi hati dan akupun melakukan kontravensi, konflik yang timbul namun tidak terlihat dan ditutupi.

Tak ada satupun tetangga lain yang mengetahui kontravensiku dengan si tetangga toxic karena ngak pernah cerita. Bagiku lebih diam dan menjauh daripada harus curhat dengan tetangga lain karena aku pelajari tipikal si mulut toxic senang dengan urusan orang lain. Daripada memperbesar lebih baik meniadakan masalah dengan dia.

Tak terasa hampir setahun kontravensi ini terjadi, tidak terlihat jelas tapi si mulut toxic ini menyadari interaksi sosial dengannya makin jauh. Biasanya adalah tegur sapa kini aku sering diam . Serasa memelihara api dalam sekam,  kurasakan sikap atau perilaku yang menunjukkan penolakan, penyangkalan namun tidak diberitahukan secara nyata atau gamblang. Tak selamanya mengatakan kebenaran itu baik.

kontravensi tak hanya akan memicu perselisihan dan perpecahan, dampak negatif yang  mengerikan adalah memakan korban jiwa. Namun untuk dikehidupanku yang paling terasa adalah menutup diri , sedangkan untuk  perselisihan ngak kentara karena aku memilih menyimpan sakit hati di dalam hati. 

Kesimpulannya, bukan pengecut dengan memilih diam saat ketemu toxic. Lebih baik kontravensi sajalah, bukankah yang waras mengalah?

#DearSenjaBlogCompetition ini kisah toxic people yang  sedang kuhadapi

Sumber gambar pexel 

You Might Also Like

1 komentar

Hai... silahkan tinggalkan pesan dan tunggu saya approve ya...
terima kasih udah berkunjung

sosial media

LinkedIn

Join

KSB

Total Pageviews

Kelas Growth dari Growthing.id*